Benarkah Perancis Akan Menjadi Negara Muslim?
Paris (voa-islam.com) Tak aneh kalau para Uskup di lingkungan Katolik, yang belum lama ini berkumpul, di Roma menjadi sangat resah dengan pertumbuhan Muslim di negeri mode itu. Begitu gelisahnya para Uskup Katolik, yang melihat pertumbuhan agama Katolik, yang terus menyusut terus menerus setiap tahunnya.Sementara itu, jauh diatas perbukitan dan hutan yang lebat, kota Burgundy, yang terletak di Perancis tengah, sebuah lembaga yang tidak lazim di negara sekuler itu, lahir sekolah, "Imam Perancis". Di mana para mahasiswanya sesudah lulus akan melaksanakan kegiatan dakwah dan melayani populasi Muslim terbesar di negara itu.
Pagi-pagi, sekitar 200 mahasiswa dari seluruh negara mode itu, mereka pergi ke Institut Eropa Human Sciences de Saint-Leger-de-Fougeret, di mana mereka belajar membaca dan menghafal Quran dan belajar nilai-nilai aqidah Islam dan sastra Arab.
Setelah tujuh tahun mereka belajar secara intensif, dan hanya 10 siswa yang lulus setiap tahun, kemudian mereka menjadi imam atau khatib, serta berkhotbah di masjid-masjid di seluruh Perancis. Sekolah ini didirikan karena di Perancis sangat dirasakan kurangnya imam dan khatib, yang mendidik Muslim di negeri mode memahami Islam.
Perkiraan jumlah pemeluk Islam di seluruh Perancis berdasarkan statistik, jumlah mencapai 6,0 juta. Ini merupakan jumlah Muslim terbesar di benua Eropa. Langkah mendidik dan melatih imam dan khatib itu, menjadi sangat mendesak, mengingat jumlah populasi Muslim di seluruh Perancis terus meningkat.
Memang, hubungan antara Pemerintah Perancis dengan imigran Muslim, yang sekarang sudah memasuki generasi kedua atau ketiga, dan mereka umumnya banyak dari Afrika Utara, semakin penting. Gerakan dakwah di seantero Perancis semakin marak,sekalipun pemerintah terus mengawasi mereka dengan berbagai dalih, yang selalu dikaitkan dengan isu terorisme.
Tidak dapat dipungkiri beberapa kalangan muda Muslim mulai tergoda oleh pandangan kelompok jihadis, dan Perancis menerapkan larangan yang kontroversial terhadap perempuan mengenakan cadar. Larangan menggunakan cadar ini telah menimbulkan ketegangan antara pemerintah Perancis dengan Muslim di negara itu.
Sekalipun, selama sembilan tahun terakhir, pemerintah Perancis mendorong pelatihan tenaga imam dan khatib secara profesional dari para pemimpin agama setempat. Menteri Dalam Negeri yang baru, Manuel Valls, mendukung kegiatan yang diselenggarakan oleh Muslim, yaitu sekolah imam dan khatib. Namun, pemerintah sangat hati-hati mengakui mereka yang telah lulus menjadi imam dan khatib.
Sebenarnya, inisiatif ini sudah ada sejak 20 tahun lalu, ketika Organisasi Uni Islam di Perancis, yang memiliki hubungan dekat dengan Ikhwanul Muslimin. Organisasi ini melakukan pelatihan disaat menjelang lliburan sekolah atau musim panas. Banyak sudah imam dan khatib yang lulus dari sekolah ini. Semuanya itu, merupakan kerjasama antara Uni Muslim Perancis dengan Ikhwanul Muslim. Tujuannya adalah melatih para imam yang dilengkapi "dengan pengetahuan Islam dan realitas sosial-budaya Eropa."
Idenya adalah memberikan alternatif untuk perekrutan orang-orang asing yang akan menjadi imam, yang sering tidak bisa berbahasa Perancis dan memiliki sedikit pengetahuan dari gaya hidup Perancis.
"Pelatihan imam yang merupakan produk dari masyarakat Perancis sangat penting. Hari ini 70 persen Muslim Perancis tidak berbicara bahasa Arab," kata lembaga itu Direktur Zuhair Mahmoud.
Awalnya sekolah ini dibiayai oleh negara-negara Teluk, dan sekolah sangat bergantung pada bantuan biaya, karena membutuhkan dana sekitar 3.400 Euro ($ 4.400) per tahun, yang akan digunakan biaya akomodasi dan pemondokan.
"Sejak saya masih kecil saya telah bermimpi untuk menjadi seorang imam," kata Wahib, 18 thaun, yang tidak ingin memberikan nama terakhirnya. Wahib mengatakan sudah, "tujuh tahun yang tidak ada hibah", cetusnya.
Nampak hampir semua siswa laki-laki berjenggot, dan perempuan semua mengenakan jilbab. Para wanita dapat mengikuti 20 jam kursus dalam seminggu, dan mereka para Muslimah itu, nantinya akan menjadi mubalighah, dan da'iyah,yang mengajarkan anak-anak perempuan di Perancis.
Ada seorang siswa tidak ingin memberikan nama terakhirnya, lahir di Maroko dan sekarang tinggal di Nice di Perancis selatan. Dia mengambil kursus selama dua tahun dan kini telah meninggalkan keluarganya untuk "memperdalam pengetahuan tentang Islam" dan "jika saya berhasil, menjadi imam."
"Ini panggilan saya," katanya. "Saya akan senang untuk menyampaikan pengetahuan tentang Islam kepada orang lain", cetusnya. Ada sekitar 10 orang di kelasnya. Mereka mendengarkan pengajara tafsir surat Quran, atau bab, sebagai bagian dari kursus nilai-nilai Islam, memasuki tahun ketiga, yang juga mencakup pengenalan hukum Perancis. Mereka kemudian membacakan ayat dari Al-Quran.
"Menjadi imam, itu belum pernah terjadi selama 33 tahun", ujar seorang peserta kepada AFP. "Ini adalah tanggung jawab yang nyata, kita harus perlindungan." Dia menyesalkan fakta bahwa "imam moderat diabaikan oleh orang-orang di tengah krisis identitas."
Secara tradisional, jemaah akan memilih imam mereka, yang menjalankan tugasnya sebagai relawan. Mereka memimpin di masjid-masjid besar dapat memperoleh uang sebesar € 1.500 ($ 1.950) per bulan. Mereka diklasifikasikan sebagai pendidik atau guru, tetapi tidak pernah sebagai imam.
Perlahan-lahan Islam dan Muslim di Perancis terus mengukir sejarah di tengah-tengah kehidupan sekuler di Perancis, dan kuatnya sikap phobi terhadap Islam, yang dihembuskan para musuh-musuh Islam di negeri mode itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar