Berbekal pengetahuan tentang Islam  yang tipis, tak 
sedikit kalangan yang dengan lancangnya menghakimi agama ini,  untuk 
kemudian menelorkan kesimpulan-kesimpulan tak berdasar yang menyudutkan 
 Islam. Salah satunya, Islam dianggap merendahkan wanita atau dalam 
ungkapan  sekarang ‘bias jender’. Benarkah?
Sudah kita maklumi keberadaan wanita  dalam Islam 
demikian dimuliakan, terlalu banyak bukti yang menunjukkan kenyataan  
ini. Sampai-sampai ada satu surah dalam Al-Qur`anul Karim dinamakan 
surah  An-Nisa`, artinya wanita-wanita,  karena 
hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita lebih banyak disebutkan dalam  
surah ini daripada dalam surah yang lain. (Mahasinut Ta`wil, 3/6)
Untuk lebih jelasnya kita lihat  beberapa ayat dalam surah An-Nisa`  yang berbicara tentang wanita.
1. Wanita  diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.
Surah An-Nisa` dibuka dengan ayat:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا  رَبَّكُمُ الَّذِي 
خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا  وَبَثَّ 
مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً
“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb 
 kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan dari jiwa 
yang satu  itu Dia menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Dia 
memperkembangbiakkan  laki-laki dan perempuan yang banyak.” (An-Nisa`: 1)
Ayat ini merupakan bagian dari  khutbatul hajah yang dijadikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka  khutbah-khutbah beliau. Dalam ayat ini dinyatakan bahwa dari jiwa yang satu,  Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan  pasangannya. Qatadah dan Mujahid rahimahumallah mengatakan bahwa yang dimaksud  jiwa yang satu adalah Nabi Adam ‘alaihissalam. Sedangkan pasangannya adalah  Hawa. Qatadah mengatakan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. (Tafsir Ath-Thabari, 3/565, 566)
Dalam hadits shahih disebutkan:
إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ  ضِلْعٍ، وَِإِنَّ 
أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلْعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ  تُقِيْمُهُ 
كَسَرْتَهَا، وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ وَفِيْهَا  عِوَجٌ
“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang 
rusuk.  Dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah 
yang paling  atasnya. Bila engkau ingin meluruskannya, engkau akan 
mematahkannya. Dan jika  engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau
 bisa bersenang-senang namun  padanya ada kebengkokan.” (HR. Al-Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 3632)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, 
“Dalam hadits ini ada  dalil dari ucapan fuqaha atau sebagian mereka 
bahwa Hawa diciptakan dari tulang  rusuk Adam. Allah Subhanahu wa Ta’ala  berfirman: خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا dan Nabi  Shallallahu ‘alaihi wa sallam
 menerangkan  bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk. Hadits ini 
menunjukkan keharusan  berlaku lembut kepada wanita, bersikap baik 
terhadap mereka, bersabar atas  kebengkokan akhlak dan lemahnya akal 
mereka. Di samping juga menunjukkan  dibencinya mentalak mereka tanpa 
sebab dan juga tidak bisa seseorang berambisi  agar si wanita terus 
lurus. Wallahu  a’lam.”(Al-Minhaj, 9/299)
2. Dijaganya hak  perempuan yatim.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي  الْيَتَامَى 
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ  
وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا 
مَلَكَتْ  أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا
“Dan  jika kalian khawatir tidak akan dapat 
berlaku adil terhadap hak-hak perempuan  yatim (bilamana kalian 
menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang  kalian senangi: 
dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat  
berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak 
perempuan yang  kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk 
kalian tidak berlaku  aniaya.” (An-Nisa`: 3)
Urwah bin Az-Zubair pernah bertanya  kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang  firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: وَإِنْ  خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى maka Aisyah radhiyallahu ‘anha
 menjawab, “Wahai anak  saudariku1. Perempuan yatim tersebut berada 
dalam asuhan walinya yang turut  berserikat dalam harta walinya, dan si 
wali ini ternyata tertarik dengan  kecantikan si yatim berikut hartanya.
 Maka si wali ingin menikahinya tanpa  berlaku adil dalam pemberian 
maharnya sebagaimana mahar yang diberikannya kepada  wanita lain yang 
ingin dinikahinya. Para wali pun dilarang menikahi  perempuan-perempuan 
yatim terkecuali bila mereka mau berlaku adil terhadap  
perempuan-perempuan yatim serta memberinya mahar yang sesuai dengan yang
 biasa  diberikan kepada wanita lain. Para wali kemudian diperintah 
untuk menikahi  wanita-wanita lain yang mereka senangi.” Urwah berkata, 
“Aisyah menyatakan,  ‘Setelah turunnya ayat ini, orang-orang meminta 
fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara  wanita, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala  menurunkan ayat:
وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ
“Dan  mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita.” (An-Nisa`: 127)
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Dan firman Allah  Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat yang  lain:
وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ
“Sementara kalian ingin menikahi mereka (perempuan  yatim).” (An-Nisa`: 127)
Salah seorang dari kalian (yang  menjadi 
wali/pengasuh perempuan yatim) tidak suka menikahi perempuan yatim  
tersebut karena si perempuan tidak cantik dan hartanya sedikit. Maka 
mereka  (para wali) dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim yang 
mereka sukai harta  dan kecantikannya kecuali bila mereka mau berbuat 
adil (dalam masalah mahar,  pent.). Karena keadaan jadi terbalik bila si
 yatim sedikit hartanya dan tidak  cantik, walinya enggan/tidak ingin 
menikahinya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari  no. 4574 dan Muslim no. 
7444)
Masih dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ قُلِ  اللهُ 
يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي 
يَتَامَى  النِّسَاءِ اللاَّتِي لاَ تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ 
وَتَرْغَبُونَ أَنْ  تَنْكِحُوهُنَّ
Dan  mereka meminta fatwa kepadamu tentang 
wanita. Katakanlah, “Allah memberi fatwa  kepada kalian tentang mereka 
dan apa yang dibacakan kepada kalian dalam  Al-Qur`an tentang para 
wanita yatim yang kalian tidak memberi mereka apa yang  ditetapkan untuk
 mereka sementara kalian ingin menikahi mereka.” (An-Nisa`: 127)
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
أُنْزِلَتْ فِي الْيَتِيْمَةِ، تَكُوْنُ  عِنْدَ 
الرَّجُلِ فَتَشْرِكُهُ فِي مَالِهِ، فَيَرْغَبُ عَنْهَا أَنْ  
يَتَزَوَّجَهَا وَيَكْرَهُ أَنْ يُزَوِّجَهَا غَيْرَهُ، فَيَشْرَكُهُ فِي 
ماَلِهِ،  فَيَعْضِلُهَا، فَلاَ يَتَزَوَّجُهَا وَيُزَوِّجُهَا غَيْرَهُ
.
.
“Ayat  ini turun tentang perempuan yatim yang 
berada dalam perwalian seorang lelaki, di  mana si yatim turut 
berserikat dalam harta walinya. Si wali ini tidak suka  menikahi si 
yatim dan juga tidak suka menikahkannya dengan lelaki yang lain,  hingga
 suami si yatim kelak ikut berserikat dalam hartanya. Pada akhirnya, si 
 wali menahan si yatim untuk menikah, ia tidak mau menikahinya dan 
enggan pula  menikahkannya dengan lelaki selainnya.”
(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5131 dan Muslim no. 7447)
(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5131 dan Muslim no. 7447)
3. Cukup menikahi  seorang wanita saja bila khawatir tidak dapat berlaku adil secara  lahiriah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا  فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat 
berlaku  adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak 
perempuan yang kalian  miliki.” (An-Nisa`: 3)
Yang dimaksud dengan adil di sini  adalah dalam 
perkara lahiriah seperti adil dalam pemberian nafkah, tempat  tinggal, 
dan giliran. Adapun dalam perkara batin seperti rasa cinta dan  
kecenderungan hati tidaklah dituntut untuk adil, karena hal ini di luar 
 kesanggupan seorang hamba. Dalam Al-Qur`anul Karim dinyatakan:
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا  بَيْنَ النِّسَاءِ
 وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا  
كَالْمُعَلَّقَةِ
“Dan  kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku
 adil di antara istri-istri kalian,  walaupun kalian sangat ingin 
berbuat demikian. Karena itu janganlah kalian  terlalu cenderung kepada 
istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan yang  lain telantar.” (An-Nisa`:  129)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah 
mengatakan ketika menafsirkan ayat  di atas, “Maksudnya, kalian wahai 
manusia, tidak akan mampu berlaku sama di  antara istri-istri kalian 
dari segala sisi. Karena walaupun bisa terjadi  pembagian giliran malam 
per malam, namun mesti ada perbedaan dalam hal cinta,  syahwat, dan 
jima’. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ‘Abidah As-Salmani,  Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, dan Adh-Dhahhak bin Muzahim rahimahumullah.”
Setelah menyebutkan sejumlah  kalimat, Ibnu Katsir rahimahullah
  melanjutkan pada tafsir ayat: فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ 
maksudnya apabila  kalian cenderung kepada salah seorang dari istri 
kalian, janganlah kalian  berlebih-lebihan dengan cenderung secara total
 padanya, فَتَذَرُوهَا  كَالْمُعَلَّقَةِ “sehingga kalian biarkan yang 
lain telantar.” Maksudnya istri  yang lain menjadi terkatung-katung. 
Kata Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair,  Al-Hasan, Adh Dhahhak, 
Ar-Rabi` bin Anas, As-Suddi, dan Muqatil bin Hayyan,  “Makna 
كَالْمُعَلَّقَةِ, seperti tidak punya suami dan tidak pula ditalak.”  (Tafsir Al-Qur`anil Azhim,  2/317)
Bila seorang lelaki khawatir tidak dapat 
berlaku adil  dalam berpoligami, maka dituntunkan kepadanya untuk hanya 
menikahi satu wanita.  Dan ini termasuk pemuliaan pada wanita di mana 
pemenuhan haknya dan keadilan  suami terhadapnya diperhatikan oleh 
Islam.
4. Hak memperoleh  mahar dalam pernikahan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَءَاتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ  نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا  مَرِيئًا
“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang 
kalian  nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika 
mereka menyerahkan  kepada kalian sebagian dari mahar tersebut dengan 
senang hati maka makanlah  (ambillah) pemberian itu sebagai makanan yang
 sedap lagi baik akibatnya.”  (An-Nisa`: 4)
5. Wanita  diberikan bagian dari harta warisan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ  الْوَالِدَانِ 
وَاْلأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ  
وَاْلأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
“Bagi  laki-laki ada hak bagian dari harta 
peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, dan  bagi wanita ada hak bagian 
dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, baik  sedikit atau 
banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisa`: 7)
Sementara di zaman jahiliah, yang  mendapatkan 
warisan hanya lelaki, sementara wanita tidak mendapatkan bagian.  Malah 
wanita teranggap bagian dari barang yang diwarisi, sebagaimana dalam  
ayat:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ  يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا
“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi  kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa.” (An-Nisa`: 19)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma 
menyebutkan, “Dulunya bila  seorang lelaki di kalangan mereka meninggal,
 maka para ahli warisnya berhak  mewarisi istrinya. Jika sebagian ahli 
waris itu mau, ia nikahi wanita tersebut  dan kalau mereka mau, mereka 
nikahkan dengan lelaki lain. Kalau mau juga, mereka  tidak menikahkannya
 dengan siapa pun dan mereka lebih berhak terhadap si wanita  daripada 
keluarga wanita itu sendiri. Maka turunlah ayat ini dalam permasalahan  
tersebut.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 4579)
Maksud dari ayat ini, kata Al-Imam  Al-Qurthubi rahimahullah,
 adalah untuk  menghilangkan apa yang dulunya biasa dilakukan 
orang-orang jahiliah dari mereka  dan agar wanita tidak dijadikan 
seperti harta yang diwariskan sebagaimana  diwarisinya harta benda. (Al-Jami’ li Ahkamil  Qur`an, 5/63)
Bila ada yang mempermasalahkan,  kenapa wanita hanya mendapatkan separuh dari bagian laki-laki seperti tersebut  dalam ayat:
يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلادِكُمْ  لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ
“Allah mewasiatkan kepada kalian tentang 
pembagian  warisan untuk anak-anak kalian, yaitu bagian seorang anak 
lelaki sama dengan  bagian dua orang anak perempuan….” (An-Nisa`: 11)
Maka dijawab, inilah keadilan yang  sesungguhnya. 
Laki-laki mendapatkan bagian yang lebih besar daripada wanita  karena 
laki-laki butuh bekal yang lebih guna memberikan nafkah kepada orang 
yang  di bawah tanggungannya. Laki-laki banyak mendapatkan beban. Ia 
yang memberikan  mahar dalam pernikahan dan ia yang harus mencari 
penghidupan/penghasilan,  sehingga pantas sekali bila ia mendapatkan dua
 kali lipat daripada bagian  wanita. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim,  2/160)
6. Suami diperintah  untuk berlaku baik pada istrinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan  bergaullah kalian (para suami) dengan mereka (para istri) secara patut.”  (An-Nisa`: 19)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika 
menafsirkan ayat di atas  menyatakan: “Yakni perindah ucapan kalian 
terhadap mereka (para istri) dan  perbagus perbuatan serta penampilan 
kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau  menyukai bila ia (istri) 
berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat  yang sama. 
Allah Subhanahu wa Ta’ala  berfirman dalam hal ini:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ  بِالْمَعْرُوفِ
“Dan  para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang  ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah  bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ،  وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik 
terhadap  keluarga (istri)nya. Dan aku adalah orang yang paling baik di 
antara kalian  terhadap keluarga (istri)ku.”2 (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/173)
7. Suami tidak  boleh membenci istrinya 
dan tetap harus berlaku baik terhadap istrinya walaupun  dalam keadaan 
tidak menyukainya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ  تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka maka 
 bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah 
 menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)
Dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (5/65), Al-Imam  Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Firman  Allah Subhanahu wa Ta’ala:
 فَإِنْ  كَرِهْتُمُوهُنَّ (“Kemudian bila kalian tidak menyukai 
mereka”), dikarenakan  parasnya yang buruk atau perangainya yang jelek, 
bukan karena si istri berbuat  keji dan nusyuz, maka disenangi 
(dianjurkan) (bagi si suami) untuk bersabar  menanggung kekurangan 
tersebut. Mudah-mudahan hal itu mendatangkan rizki berupa  anak-anak 
yang shalih yang diperoleh dari istri tersebut.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: 
“Yakni mudah-mudahan  kesabaran kalian dengan tetap menahan mereka (para
 istri dalam ikatan  pernikahan), sementara kalian tidak menyukai 
mereka, akan menjadi kebaikan yang  banyak bagi kalian di dunia dan di 
akhirat. Sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbas  radhiyallahu ‘anhuma tentang ayat ini: ‘Si  suami mengasihani (menaruh iba) istri (yang tidak disukainya) hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan rizki kepadanya  berupa anak dari istri tersebut dan pada anak itu ada kebaikan yang banyak’.”  (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)
Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ  كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
“Janganlah seorang mukmin membenci seorang 
mukminah,  jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya maka (bisa jadi) 
ia ridha (senang)  dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: 
“Hadits ini menunjukkan  larangan (untuk membenci), yakni sepantasnya 
seorang suami tidak membenci  istrinya. Karena bila ia menemukan pada 
istrinya satu perangai yang tidak ia  sukai, namun di sisi lain ia bisa 
dapatkan perangai yang disenanginya pada si  istri. Misalnya istrinya 
tidak baik perilakunya, tetapi ia seorang yang  beragama, atau berparas 
cantik, atau menjaga kehormatan diri, atau bersikap  lemah lembut dan 
halus padanya, atau yang semisalnya.” (Al-Minhaj, 10/58)
8. Bila seorang suami bercerai  dengan istrinya, ia tidak boleh meminta kembali mahar yang pernah  diberikannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ  مَكَانَ زَوْجٍ 
وَءَاتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلاَ تَأْخُذُوا مِنْهُ  شَيْئًا 
أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا. وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ  
وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا  
غَلِيظًا
“Dan  jika kalian ingin mengganti istri kalian 
dengan istri yang lain sedang kalian  telah memberikan kepada seseorang 
di antara mereka harta yang banyak, maka  janganlah kalian mengambil 
kembali sedikitpun dari harta tersebut. Apakah kalian  akan mengambilnya
 kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung  dosa 
yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian 
kamu  telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. 
Dan mereka  (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang 
kuat.” (An-Nisa`: 20-21)
9. Termasuk  pemuliaan terhadap wanita 
adalah diharamkan bagi mahram si wanita karena nasab  ataupun karena 
penyusuan untuk menikahinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ  وَبَنَاتُكُمْ 
وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ  
وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ 
وَأَخَوَاتُكُمْ  مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ 
وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي  حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاَّتِي 
دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا  دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ 
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ  مِنْ 
أَصْلاَبِكُمْ
“Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian, 
 putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, ‘ammah kalian 
(bibi/  saudara perempuan ayah), khalah kalian (bibi/ saudara perempuan 
ibu),  putri-putri dari saudara laki-laki kalian (keponakan perempuan), 
putri-putri  dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu susu kalian, 
saudara-saudara perempuan  kalian sepersusuan, ibu mertua kalian, 
putri-putri dari istri kalian yang berada  dalam pemeliharaan kalian 
dari istri yang telah kalian campuri. Tetapi jika  kalian belum 
mencampuri istri tersebut (dan sudah berpisah dengan kalian) maka  tidak
 berdosa kalian menikahi putrinya. Diharamkan pula bagi kalian menikahi 
 istri-istri anak kandung kalian (menantu)…” (An-Nisa`: 23)
Diharamkannya wanita-wanita yang  disebutkan dalam 
ayat di atas untuk dinikahi oleh lelaki yang merupakan  mahramnya, tentu
 memiliki hikmah yang agung, tujuan yang tinggi yang sesuai  dengan 
fithrah insaniah. (Takrimul Mar`ah fil  Islam, Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)
Di akhir ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ  إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“(Diharamkan atas kalian) menghimpunkan dalam  
pernikahan dua wanita yang bersaudara, kecuali apa yang telah terjadi di
 masa  lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa`: 23)
Ayat di atas menetapkan bahwa  seorang lelaki tidak 
boleh mengumpulkan dua wanita yang bersaudara dalam ikatan  pernikahan 
karena hal ini jelas akan mengakibatkan permusuhan dan pecahnya  
hubungan di antara keduanya. (Takrimul Mar`ah  fil Islam, Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)
Demikian beberapa ayat dalam surah  An-Nisa`
 yang menyinggung tentang  wanita. Apa yang kami sebutkan di atas 
bukanlah membatasi, namun karena tidak  cukupnya ruang, sementara hanya 
demikian yang dapat kami persembahkan untuk  pembaca yang mulia. Allah Subhanahu wa  Ta’ala-lah yang memberi taufik.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Footnote:
1 Karena ibu ‘Urwah, Asma` bintu Abi  Bakr radhiyallahu ‘anhuma adalah saudara  perempuan Aisyah radhiyallahu ‘anha.
2 HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.
2 HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.
(Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. IV/No. 38/1429H/2008,  Kategori: Niswah, hal. 80-85. Dicopy dari  http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=617)








Tidak ada komentar:
Posting Komentar